Saturday 9 August 2008

Arung Jeram

Palembang, August, 3rd 2008, 09.00 pagi hari..
Selesai sudah saya membaca bukunya Parlindungan Marpaung, “Setengah Isi Setengah Kosong”, 2008, MQS Publishing.
Pada kisahnya yang ke-11, berjudul Arung Jeram, disana dikisahkan bagaimana arung jeram adalah olahraga dengan resiko tinggi. Sarat dengan standar dan prosedur yang harus ditaati, demi keselamatan dan kenyamanan bersama.
Perahu karet yang digunakan pada awal perjalannya, berjalan mulus dari titik start. Semua peserta bersiap, sang kapten, para pendayung, dengan segenap tekad dan kemampuannya. Beberapa saat setelah start, mulailah sang perahu dan penumpang didalamnya terhentak, berayun, dan terlontar.
Semakin jauh perjalanan, semakin keras deburan arus yang harus dihadapi, batuan, pusaran air, karang.

Sang kapten (skipper), berteriak, memberi komando, instruksi, perintah, teguran, yang kian lama kian galak.
Para pendayung, dengan ketulusannya, menyerahkan segenap kepercayaan kepada sang kapten. Tak ada sangkalan, tak ada bantahan, interupsi, maupun sikap ketidakpatuhan.
Semua didedikasikan untuk keselamatan dan tujuan akhir yanh telah disepakati semenjak awal perjalanan, yaitu menjadi kelompok yang mampu mencapai garis finish dalam waktu tercepat.

Demikianlah gambaran “perahu” organisasi perusahaan saat ini. Bagi perusahaan yang telah berusia puluhan, atau bahkan ratusan tahun, akan mampu merasakan dengan mudah bagaimana perubahan dari “ketenangan start”, “goncangan paruh perjalanan”, tanpa kepastian, kapan dan dimana titik “finish” akan dicapai.

“Perahu” perusahaan pun tak selamanya berada dalam posisi “menguntungkan. Pun saat-saat tersulit pernah dilalui. Disinilah uji ketabahan, kekompakan, kepatuhan, dedikasi, hingga berserah diri mempercayakan sepenuhnya masa depan pribadi, pada visi dan misi yang telah dirumuskan oleh pemimpin perusahaan.

Kini tiba saat dimana “perahu”, berhadapan dengan jalan lurus. Kemudian apa yang terjadi?
Dalam kecepatan yang luar biasa semua dipertaruhkan demi kecepatan. Ia adalah satu-satunya hal yang didongkrak. Semua dikorbankan demi sang kecepatan. Bobot dikurangi, tenaga diganti dan ditambah, formasi diperbaiki.

Namun satu hal yang sangat memprihatinkan. Pada masa seperti ini, etiskah bagi sang maharaja skippe, untuk melemparkan sang pendayung yang terburuk ke dalam lubuk jeram yang berputar-putar. Ke dalam perut sang maut, yang selalu menguntit dengan pedang terjepit.
Maharaja Skipper berteriak “Cut Cost..!!!” dalam setiap hembusan nafasnya. Demi efisiensi, berkedok rasionalisasi demi kepentingan bersama.

Lebih dari itu, mereka lupa, secara makro, tujuan perusahaan adalah memakmurkan semua orang. Bukankah mereka akan menjadi tujuan akhir produk yang dihasilkan. Bagaimana mungkin menjual sepatu Nike seharga Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk 50 bulan, pada masyarakat yang mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan jatah BLT untuk 3bulan.

No comments: